Tak ada habis-habisnya membahas seluk-beluk Steve Jobs. Pria di balik kesuksesan Apple ini selalu muncul dengan ide segar dan inovasi teknologi terbaru. Pemikiran, tindakan, strategi bisnis, dan karakter Jobs dalam memimpin Apple tak perlu lagi diragukan.
Beberapa biografi dan tulisan panjang yang mencatat rekam jejak pria ini bisa ditemukan di toko-toko buku dan internet. Namun, dua jurnalis teknologi kawakan Brent Schlender dan Rick Tetzeli tampaknya mampu mengungkap hal-hal lain dari sosok Steve Jobs yang belum pernah muncul ke permukaan.
Tak melulu soal kisah suksesnya, tetapi lebih pada sosok Jobs sebagai manusia sehari-hari yang memiliki emosi dan perasaan. Setidaknya, hal itu yang dijanjikan kedua reporter dalam buku yang mereka sajikan, berjudul Becoming Steve Jobs: The Evolution of a Reckless Upstart into a Visionary Leader.
Hari-hari Jobs terbaring lemah
Ada satu fakta mengejutkan yang baru terungkap dalam buku tersebut, yakni cerita dramatis pada masa-masa kritis kesehatan Jobs. Dua tahun sebelum Jobs meninggal, tepatnya sekitar 2009, Jobs tak pernah lagi datang ke kantor. Ia terserang penyakit lanjutan dari sirosis hati, yakni asites.
Salah satu jenis kanker ini menyebabkan peningkatan berat badan dan tekanan rongga perut, serta memicu sesak napas berkelanjutan. Ada dua faktor utama yang dapat menyebabkan asites, yakni rendahnya kadar albumin dalam darah dan hipertensi portal. Akibatnya, darah tak dapat mengalir ke hati. Kondisi ini mengharuskan Jobs mengganti levernya yang tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.
Namun kita semua tahu, tak mudah mencari orang yang rela menjadi donor hati. Untuk Jobs, ternyata Tim Cook mau melakukan itu secara sukarela.
Sebelum memutuskan penawaran tersebut, Cook telah melakukan riset dan belajar tentang pelbagai konsekuensi dari tindakan yang bakal ia lakukan. Dari risetnya, Cook mengetahui bahwa 6.000 donor hati muncul tiap tahun di AS, dan prosesnya kebanyakan berhasil.
Ada pula fakta yang menunjukkan organ hati donor bakal kembali memproduksi hati setelah transplantasi. Semua pengetahuan yang Cook temukan membuatnya mantap “menyelamatkan” hidup Jobs.
Setelah menjalani beberapa tahapan tes fisik untuk menguji apakah kondisi tubuhnya aman untuk melakukan transplantasi, Cook pun bergegas memberi kabar gembira untuk Jobs.
Jobs menolak Cook
Tak dinyana, Jobs menolak mentah-mentah tawaran Cook.
“Tidak, saya tidak akan membiarkanmu melakukan itu. Saya tak akan melakukan itu,” begitu kata Cook mencontohkan gaya bicara Jobs, seperti kutipan yang tertera dalam salah satu bagian buku, “Becoming Steve Jobs”.
“Seseorang yang egois tak akan bicara seperti itu. Dia sekarat dan sangat dekat dengan kematian. Ada seseorang yang benar-benar sehat dan bisa memberikannya hati yang sehat, tetapi ia menolak,” kata Cook dalam wawancaranya bersama Schlender dan Tetzeli.
Cook bahkan telah meyakinkan Jobs bahwa ia telah melakukan uji kesehatan dan kelayakan untuk menjadi donor. Cook pun bersedia memberikan laporan kesehatannya. Namun, Jobs tetap bersikukuh tak ingin menerima donor Cook.
Hari itu membekas jelas dalam ingatan Cook. Hari ketika ia dan Jobs beradu mulut secara hebat. Cook bersikeras ingin menolong bosnya, dan Jobs menantang dengan lantang.
“Dia bangun dari tempat tidur dan mengatakan tak akan menerima organ hati saya. Selama 13 tahun saya mengenalnya, saya pernah dibentak 4 sampai 5 kali. Hari itu adalah salah satunya,” Cook mengenang.
Buku ini dibuat dengan kajian dan wawancara mendalam terhadap orang-orang di lingkaran Jobs, termasuk Tim Cook (CEO Apple), Jony Ive (Product Designer Apple), Eddy Cue (Senior Vice President of Internet Software and Services Apple), John Lasserter (Chief Creative Officer Pixar), Bob Iger (CEO Walt Disney), dan Laurene Powel Jobs (mantan istri Jobs).
Buku ini dibungkus untuk menjawab pelbagai pertanyaan ringan, manusiawi, dan sehari-hari, ihwal hubungan Jobs dengan orang-orang terdekatnya, dan pengalaman-pengalaman yang berkesan.
sumber : KOMPAS.com